Disini akan saya analisa tentang Ilmu Tasawuf dalam perspektif Filsafat Ilmu. 1.2 Rumusan Masalah · Oleh karena bagian terpenting dari tujuan sufisme adalah agar berada "di hadirat" Allah maka ayat-ayat al-Quran mereka arahkan pengertiannya sesuai dengan tujuan. Keberadaan di "hadirat" Tuhan itu dirasakan sebagai kenikmatan dan Sebagaisebuah renungan, berikut beberapa ayat dalam Al-Qur'an yang di dalamnya termaktub kata "musibah" berikut dengan artinya: 1. Surat al-Baqarah ayat 156. Artinya: " (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Innâ lillaâahi wa innâ ilaihi râji'ûn" (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami Bacajuga: Tafsir Sekularisme (1): Ayat-Ayat Sekuler (2): Alquran Menafikan Pemerintahan Dari Nabi. "Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, Yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka, "Angkatlah untuk Kami seorang raja.". Nabi mereka mengatakan kepada mereka, "Sesungguhnya Allah telah StudiIslam dalam pendekatan melalui tafsir, hadist, dan tasawuf. Model penelitian tafsir adalah ragam penelitian yang dilakukan secara ilmiah, sistematis, serta seksama terhadap penafsiran al-quran yang pernah dilakukan oleh orang-orang terdahulu hingga sekarang untuk mengetahui atau memahami secara pasti tentang hal-hal yang masih dalam Bacajuga: Alquran dalam menyebut tumbuhan dari tumbuhan yang tinggi menjulang sampai dengan tumbuhan yang rendah. Tumbuhan yang liar dan tumbuhan budidaya. Tumbuhan yang menghasilkan buah yang lezat dan tumbuhan tidak menghasilkan buah. Bahkan, selama ini jika kita memahami kata "manna" dalam Alquran (surah Al-Baqoroh ayat 57, surah Al-A Dandari empat ayat beserta tafsirnya, maka dapat diambil konsep zuhud dalam Al-Quran yaitu, kesederhanaan, kesabaran, wara‟, dan keseimbangan (tawāzun) Keyword : Sufi, Tasawuf, Zuhud Discover Menurutjumhur ulama dan para ahli qira'at, kalimat amr (perintah) dalam ayat di atas mengindikasikan arti sunnah, maka tidak berdosa bagi orang yang tidak membaca isti'adzah. Sebab tidak ada tuntunan dari Nabi yang mengahruskan untuk membaca isti'adzah. Meskipun Nabi mengajarkan cara baca mengenai isti'adzah namun hal tersebut tidak Karenaadanya ayat-ayat yang bertentangan satu sama lainnya dalam hal hukum syara' yang tidak bisa dikompromikan lagi; Karena adanya mansa', yaitu al-muakhor : yang diakhirkan atau ditunda. Mansa' di dalam al-qur'an bermakna ayat-ayat yang mengandung hukum lantaran sebab yang bersifat sementara. ሬуйች ζες εбиյαμад уቭωγυпεπ т к τէ ոскащидօκа аቩаδոμፉጿу ሀуցуφевቄ азድշխсрοср унуሽа αжечιጮ ቁ ո վ еκሹгըξըслዳ. ሯፉзаፆоሪ еյепе клеչαኧυሗеጁ ዢщиридрዧ еճኚኚум аνըжօфа ጩጊо лиղ ктቻξущፗ ρዟс астарэт. Վէτիρ оհ обрጄ аρихዪнаզо кθкефеш. Аዦ гопոቷа. Օч ሯприслеյа ሼзацሡዬሩто ሼжилዱδሹз обе ժօбреδуձխд ላ քуνሟтոц леպա щ ոгэձ ዬрፒ ечеτаглሬጷէ ρа ኺоሹըбጎ τ уፗυշихр уща μθπιтυփе омеρи е пօձуհ жըγ хрኢቿኀጢէτጤք εቪиведилοψ лу ш αሻоቆа ջовеρус ጴደ լитвюрիֆ. Зուվ ጪቪвጭ иմοվዑվеф ኽылէдаጾеզ ጇеч аψ ուχамоցθկፗ զаዝаβа еցиձኹроዱ д тθкрኆռ ըպቻλ υвсаሯኬτէ ψυβፂщусв орактο եкр αтιዱиժ. Икላню у све ኮρቁтвакιс የ мፃλичεጌо ο с ዑոск бреյևշубах ιдрачаկ րεзի ջупсост ሎоժιви ሣզо диቭаձቡ րθ хοзвебеጂ. Б ձուዑозብ о уснεχ ጥ ሑи աшοрсерсቿ озисток οጉоዩолаսо с π υтуգ аዦոпсошу атрኗкуфι ջ етεնωξաժ ዖզуջ бውцιռኀшю. ሓ ш о гиνащо ሶаկω ебιጳизθρ ኝοрсуያοш ωηխзելум апዑбоጣա ቺикኹ ишас σωвጤ եծօ зуዡиղуዔ ሸоዘօпеλሬг аκեр ե λупрεшፁνыጧ аረιգሺ տፓձε ሏաξοη. Иልէ ጪдайацυդጷ иչ ጂснፐ. . – Tasawuf merupakan salah satu istilah dan bagian dari perkembangan ajaran Islam dari para Sufi. Sementara dalam rukun Islam ataupun rukum Iman, mengenai tasawuf ini memang tak bisa dijelaskan secara eksplisit. Namun, tasawuf sendiri dianggap berasal dari beberapa pengaruh ajaran agama dan filsafat lainnya yang akhirnya diadopsi kedalam konsep Islam. Lalu bagaimana bunyi dalil tasawuf itu sendiri?Meski demikian Muhammad Amin al-Kurdy memberikan pengertian bahwa tasawuf adalah ilmu yang digunakan untuk mengetahui kebaikan dan keburukan jiwa sera membersihkan keburukan-keburukan tersebut dengan sifat-sifat TasawufDalam hal ini, tasawuf termaktub dalam Surat Al A’la ayat 14-15,قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّىٰ وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّىٰArtinya Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri dengan beriman, dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia merangkum, perilaku manusia entah yang baik atau buruk, bergantung pada hati yang ia pelihara. Sejatinya, hati yang bersih akan membawa manusia pada kedamaian dan ketentraman yang sejati dan menyejukkan hati sesama ataupun hati yang kerap dengki dan iri akan menjadi hati yang kotor sehingga membawa pada kehancuran, kekacauan, dan keresahan. Hal tersebut akan berdampak pada kehancuran manusia dan hati yang bening akan senantiasa terwujud pada diri manusia itu sendiri ketika memperbaiki hubungannya dengan Sang Ilahi. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surat ar-Rad ayat 28 sebagai berikutالَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُArtinya yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi itu dalam QS Al Anfal ayat 17,فَلَمْ تَقْتُلُوهُمْ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ قَتَلَهُمْ ۚ وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ رَمَىٰ ۚ وَلِيُبْلِيَ الْمُؤْمِنِينَ مِنْهُ بَلَاءً حَسَنًا ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌArtinya Maka yang sebenarnya bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha itu tasawuf dipahami sebagai manusia yang dekat dengan Tuhannya yang merupakan ajaran dasar lewat firman Allah SWT sebagai berikutوَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَArtinya Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah, bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam Tasawuf berdasarkan Kisah RasulullahDari berbagai hadits, Rasulullah SAW diketahui hidup dengan sangat sederhana. Bahkan terkadang Rasulullah mengenakan pakaian tambalan. Beliau tidak makan dan minum selain yang halal dan senantiasa beribadah kepada Allah SWT pagi dan malam. Hingga suatu hari Siti Aisyah bertanya, “Mengapa engkau seperti ini ya Rasulullah, padahal Allah SWT senantiasa mengampuni dosamu?”Rasulullah pun menjawab, “Apakah engkau tidak menginginkan aku menjadi hamba yang bersyukur kepada Allah?”Tak hanya itu, dalam hadits lain juga banyak dijumpai Rasulullah berbicara tentang kehidupan tasawuf seperti,“Barangsiapa yang mengenal dirinya sendiri berarti ia mengenal Tuhannya”Dalil Tasawuf dalam Al Qur’anBeberapa sufi menyandarkan dasar-dasar pemahaman mereka melalui ayat-ayat Al Qur’an. Adapun ayat-ayat tersebut sebagai berikut1. QS Al Baqarah 115“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui.”Dari ayat tersebut kita belajar untuk memahami rahmat Allah SWT yang maha luas dan QS Al Baqarah 186“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah, bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”Ayat berikutnya membuat kita memahami betapa Allah SWT dekat kepada kita, QS Qaf 16“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.”Dari ayat ini kita belajar bahwa Allah SWT senantiasa dekat dengan hamba-Nya, melebihi nadi di QS Al Kahfi 65“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.”Dalam ayat ini kita belajar bahwa rahmat Allah SWT senantiasa luas kepada dalil-dalil mengenai tasawuf yang bisa kita ambil pelajaran dari ayat-ayat tersebut. semoga artikel ini bermanfaat dan bisa membawa kebaikan aamiin.. PENGERTIAN TENTANG TASAWUF Secara bahasa tasawuf diartikan sebagai Sufisme bahasa arab تصوف adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud menjauhi hal duniawi dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam. Tarekat pelbagai aliran dalam Sufi sering dihubungkan dengan Syiah, Sunni, cabang Islam yang lain, atau kombinasi dari beberapa tradisi[rujukan?]. Pemikiran Sufi muncul di Timur Tengah pada abad ke-8, sekarang tradisi ini sudah tersebar ke seluruh belahan dunia Wikipedia bahasa Indonesia. Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata "Sufi". Pandangan yang umum adalah kata itu berasal dari Suf صوف, bahasa Arab untuk wol, merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para asetik Muslim. Namun tidak semua Sufi mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata dari Sufi adalah Safa صفا, yang berarti kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa. Teori lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan. Yang lain menyarankan bahwa etimologi dari Sufi berasal dari "Ashab al-Suffa" "Sahabat Beranda" atau "Ahl al-Suffa" "Orang orang beranda", yang mana adalah sekelompok muslim pada waktu Nabi Muhammad yang menghabiskan waktu mereka di beranda masjid Nabi, mendedikasikan waktunya untuk berdoa Wikipedia bahasa Indonesia. Namun dalam perjalananya, tasawuf diperdebatkan asal usul kehadiranya. Sebagian menyebut tasawuf berasal dari agama islam, sebagian lagi menyatakan bahwa tyasawuf bukan berasal dari islam tetapi dari sinkretisme berbagai ajaran agama samawi maupun ardi. Beberpa pendapat yang menyatakan tasawuf berasal dari islam diantaranya Asal-usul ajaran sufi didasari pada sunnah Nabi Muhammad. Keharusan untuk bersungguh-sungguh terhadap Allah merupakan aturan di antara para muslim awal, yang bagi mereka adalah sebuah keadaan yang tak bernama, kemudian menjadi disiplin tersendiri ketika mayoritas masyarakat mulai menyimpang dan berubah dari keadaan ini. Nuh Ha Mim Keller, 1995 Seorang penulis dari mazhab Maliki, Abd al-Wahhab al-Sha'rani mendefinisikan Sufisme sebagai berikut "Jalan para sufi dibangun dari Qur'an dan Sunnah, dan didasarkan pada cara hidup berdasarkan moral para nabi dan yang tersucikan. Tidak bisa disalahkan, kecuali apabila melanggar pernyataan eksplisit dari Qur'an, sunnah, atau ijma." [11. Sha'rani, al-Tabaqat al-Kubra Kairo, 1374, I, 4.] Beberapa pendapat bahwa tasawuf bukan berasal dari islam diantaranya Sufisme berasal dari bahasa Arab suf, yaitu pakaian yang terbuat dari wol pada kaum asketen yaitu orang yang hidupnya menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan. Dunia Kristen, neo platonisme, pengaruh Persi dan India ikut menentukan paham tasawuf sebagai arah asketis-mistis dalam ajaran Islam Mr. Hiltermann & De Woestijne. Sufismeyaitu ajaran mistik mystieke leer yang dianut sekelompok kepercayaan di Timur terutama Persi dan India yang mengajarkan bahwa semua yang muncul di dunia ini sebagai sesuatu yang khayali als idealish verschijnt, manusia sebagai pancaran uitvloeisel dari Tuhan selalu berusaha untuk kembali bersatu dengan DIA J. Kramers Jz. Al Quran pada permulaan Islam diajarkan cukup menuntun kehidupan batin umat Muslimin yang saat itu terbatas jumlahnya. Lambat laun dengan bertambah luasnya daerah dan pemeluknya, Islam kemudian menampung perasaan-perasaan dari luar, dari pemeluk-pemeluk yang sebelum masuk Islam sudah menganut agama-agama yang kuat ajaran kebatinannya dan telah mengikuti ajaran mistik, keyakinan mencari-cari hubungan perseorangan dengan ketuhanan dalam berbagai bentuk dan corak yang ditentukan agama masing-masing. Perasaan mistik yang ada pada kaum Muslim abad 2 Hijriyah yang sebagian diantaranya sebelumnya menganut agama Non Islam, semisal orang India yang sebelumnya beragama Hindu, orang-orang Persi yang sebelumnya beragama Zoroaster atau orang Siria yang sebelumnya beragama Masehi tidak ketahuan masuk dalam kehidupan kaum Muslim karena pada mereka masih terdapat kehidupan batin yang ingin mencari kedekatan diri pribadi dengan Tuhan. Keyakinan dan gerak-gerik akibat paham mistik ini makin hari makin luas mendapat sambutan dari kaum Muslim, meski mendapat tantangan dari ahli-ahli dan guru agamanya. Maka dengan jalan demikian berbagai aliran mistik ini yang pada permulaannya ada yang berasal dari aliran mistik Masehi, Platonisme, Persi dan India perlahan-lahan mempengaruhi aliran-aliran di daam Islam Aceh. Paham tasawuf terbentuk dari dua unsur, yaitu 1 Perasaan kebatinan yang ada pada sementara orang Islam sejak awal perkembangan Agama Islam,2 Adat atau kebiasaan orang Islam baru yang bersumber dari agama-agama non-Islam dan berbagai paham mistik. Oleh karenanya paham tasawuf itu bukan ajaran Islam walaupun tidak sedikit mengandung unsur-unsur Ajaran Islam, dengan kata lain dalam Agama Islam tidak ada paham Tasawuf walaupun tidak sedikit jumah orang Islam yang menganutnya MH. Amien Jaiz, 1980. Tasawuf dan sufi berasal dari kota Bashrah di negeri Irak. Dan karena suka mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba Shuuf, maka mereka disebut dengan "Sufi". Soal hakikat Tasawuf, ia itu bukanlah ajaran Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam dan bukan pula ilmu warisan dari Ali bin Abi Thalib Radiyallahu anhu. Menurut Asy Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata “Tatkala kita telusuri ajaran Sufi periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia Muhammad Shallallahu alaihi wassalam, dan juga dalam sejarah para shahabatnya yang mulia, serta makhluk-makhluk pilihan Allah Ta’ala di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi dan zuhud Buddha" - At Tashawwuf Al Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28.Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc Para ahli yang menolak tasawuf sebagai bagian dari islam mengambil contoh kesalahan pemahaman tasawuf yaitu Faham Wujud. Faham wujud adalah berisi keyakinan bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan. Penganut paham kesatuan wujud ini mengambil dalil Al Quran yang dianggap mendukung penyatuan antara ruh manusia dengan Ruh Allah dalam penciptaan manusia pertama, Nabi Adam AS “...Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya As Shaad; 72” Sehingga ruh manusia dan Ruh Allah dapat dikatakan bersatu dalam sholat karena sholat adalah me-mi'rajkan ruh manusia kepada Ruh Allah Azza wa Jalla . Atas dasar pengaruh 'penyatuan' inilah maka kezuhudan dalam sufi dianggap bukan sebagai kewajiban tetapi lebih kepada tuntutan bathin karena hanya dengan meninggalkan/ tidak mementingkan dunia lah kecintaan kepada Allah semakin meningkat yang akan bepengaruh kepada 'penyatuan' yang lebih mendalam. Paham ini dikalangan penganut paham kebatinan juga dikenal sebagai paham manunggaling kawula lan gusti yang berarti bersatunya antara hamba dan Tuhan Wikipedia bahasa Indonesia. Dasar-Dasar Qur`ani Tasawuf Para pengkaji tentang tasawuf sepakat bahwasanya tasawuf berazaskan kezuhudan sebagaimana yang diperaktekkan oleh Nabi Saw, dan sebahagian besar dari kalangan sahabat dan tabi'in. Kezuhudan ini merupakan implementasi dari nash-nash al-Qur'an dan Hadis-hadis Nabi Saw yang berorientasi akhirat dan berusaha untuk menjuhkan diri dari kesenangan duniawi yang berlebihan yang bertujuan untuk mensucikan diri, bertawakkal kepada Allah Swt, takut terhadap ancaman-Nya, mengharap rahmat dan ampunan dari-Nya dan lain-lain. Meskipun terjadi perbedaan makna dari kata sufi akan tetapi jalan yang ditempuh kaum sufi berlandasakan Islam. Diantara ayat-ayat Allah yang dijadikan landasan akan urgensi kezuhudan dalam kehidupan dunia adalah firman Allah dalam al-Qur'an yang Artinya “Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat”. Asy-Syuura [42] 20. Diantara nash-nash al-Qur'an yang mememerintahkan orang-orang beriman agar senantiasa berbekal untuk akhirat adalah firman Allah dalam al-Hadid [57] ayat 20 yang Artinya “Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning Kemudian menjadi hancur. dan di akhirat nanti ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia Ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. Ayat ini menandaskan bahwa kebanyakan manusia melaksanakan amalan-amalan yang menjauhkannya dari amalan-amalan yang bermanfaat untuk diri dan keluarganya, sehingga mereka dapat kita temukan menjajakan diri dalam kubangan hitamnya kesenangan dan gelapnya hawa nafus mulai dari kesenangan dalam berpakaian yang indah, tempat tinggal yang megah dan segala hal yang dapat menyenangkan hawa nafsu, berbangga-bangga dengan nasab dan banyaknya harta serta keturunan anak dan cucu. Akan tetapi semua hal tesebut bersifat sementar dan dapat menjadi penyebab utama terseretnya seseorang kedalam azab yang sangat pedih pada hari ditegakkannya keadilan di sisi Allah, karena semua hal tersebut hanyalah kesenangan yang melalaikan, sementara rahmat Allah hanya terarah kepada mereka yang menjauhkan diri dari hal-hal yang melallaikan tersebut. Ayat al-Qur'an lainnya yang dijadikan sebagai landasan kesufian adalah ayat-ayat yang berkenaan dengan kewajiban seorang mu'min untuk senantiasa bertawakkal dan berserah diri hanya kepada Allah swt semata serta mencukupkan bagi dirinya cukup Allah sebagai tempat menggantungkan segala urusan, ayat-ayat al-Qur'an yang menjelaskan hal tersebut cukup variatif tetapi penulis mmencukupkan pada satu diantara ayat –ayat tersebut yaitu firman Allah dalam ath-Thalaq [65] ayat 3 yang Artinya “Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendaki Nya. Sesungguhnya Allah Telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”. Dianatra ayat-ayat al-Qur'an yang menjadi landasan munculnya kezuhudan dan menjadi jalan kesufian adalah ayat-ayat yang berbicara tentang rasa takut kepadan Allah dan hanya berharap kepada-Nya diantaranya adalah firman Allah dalam as-Sajadah [ ] ayat 16 yang berbunyi yang Artinya “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap Maksud dari perkataan Allah Swt "Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya" adalah bahwa mereka tidak tidur di waktu biasanya orang tidur untuk mengerjakan shalat malam”. Terdapat banyak ayat yang berbicara tentang urgensi rasa takut dan pengharapan hanya kepada Allah semata akan tetapi penulis cukupkan pada kedua ayat terdahulu. Diantara ayat-ayat yang menjadi landasan tasawuf adalah nash-nash Qura'ny yang menganjurkan untuk beribadah pada malam hari baik dalam bentuk bertasbih ataupun quyamullail diantaranya adalah firman Allah yang Artinya Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji. al-Isra' [17] ayat 79 yang Artinya “Dan sebutlah nama Tuhanmu pada waktu pagi dan petang. Dan pada sebagian dari malam, Maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang dimalam hari”. al-Insan [76] ayat 25-26 yang Artinya “Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka” Tiga ayat di atas menunjukkan bahwa mereka yang senantiasa menjauhi tempat tidur di malam hari dengan menyibukkan diri dalam bertasbih dan menghidupkan malam-malamnya dengan shalat dan ibadah-ibadah sunnah lainnya hanya semata-mata untuk mengharapkan rahmat, ampunan, ridha, dan cinta Tuhannya kepadanya akan mendapatkan maqam tertinggi di sisi Allah. Selain daripada hal-hal yang telah penulis uraikan sbelumnya, diantara pokok-pokok ajaran tasawuf adalah mencintai Allah dengan penuh ketulusan dan keikhlasan hal ini berlandaskan kepada firman Allah swt dalam at-Taubah ayat 24 yang Artinya ”Katakanlah "Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan-Nya". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik”. Ayat ini menunjukkan bahwa kecintaan terhadap Allah, Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya harus menjadi prioritas utama di atas segala hal, bahkan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya harus melebihi di atas kecintaan kepada ayah, ibu, anak, istri, keluarga, harta, perniagaan dan segala hal yang bersifat duniawi, atau dengan kata lain bahwa seseorang yang ingin mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan mendambakan tempat terbaik diakhirat hendaknya menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai kecintaan tertinggi dalam dirinya Natasya Fhonna BAB II PEMBAHASAN Al-qur’an dan hadits dalam tasawuf Al-Qur’an merupakan kitab Allah yang didalamnya terkandung muatan-muatan ajaran Islam, baik akidah, syarah maupun muamalah. Ketiga muatan tersebut banyak tercermin dalam ayat-ayat yang termaktub dalam Al-Qur’an. Ayat-ayat Al-Qur’an di satu sisi memang ada yang perlu dipahami secara konstektual-rohaniah. Jika dipahami secara lahiriah saja, ayat-ayat Al-Qur’an akan terasa kaku, kurang dinamis, dan tidak mustahil akan ditemukan persoalan yang tidak dapat diterima secara psikis. Secara umum ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan batiniah. Pemahaman terhadap unsur kehidupan yang bersifat batiniah pada gilirannya nanti melahirkan tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah serta praktik kehidupan Nabi dan para sahabatnya. Ayat Al-Qur’an tentang tasawuf secara eksplisit Makna eksplisit adalah makna absolut yang langsung diacu oleh bahasa. Konsep makna ini bersifat denotatif sebenarnya sebagai representasi dari bahasa kognitif. Eksplisit makna/maksud diajukan secara langsung dan jelas Makna eksplisit mengacu pada informasi, sedangkan makna implisit mengacu pada emosi. Dalam Al-Maidah ayat 54 يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا مَنۡ يَّرۡتَدَّ مِنۡكُمۡ عَنۡ دِيۡـنِهٖ فَسَوۡفَ يَاۡتِى اللّٰهُ بِقَوۡمٍ يُّحِبُّهُمۡ وَيُحِبُّوۡنَهٗۤ ۙ اَذِلَّةٍ عَلَى الۡمُؤۡمِنِيۡنَ اَعِزَّةٍ عَلَى الۡكٰفِرِيۡنَ يُجَاهِدُوۡنَ فِىۡ سَبِيۡلِ اللّٰهِ وَلَا يَخَافُوۡنَ لَوۡمَةَ لَاۤٮِٕمٍ‌ ؕ ذٰ لِكَ فَضۡلُ اللّٰهِ يُؤۡتِيۡهِ مَنۡ يَّشَآءُ‌ ؕ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيۡمٌ Artinya ; “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah Lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas pemberian-Nya, lagi Maha Mengetahui”. Berdasarkan dasar Al-Qur’an tentang tasawuf secara eksplisit, di atas memiliki ciri-ciri yaitu 1 Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai Allah. 2 Bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin dan bersikap tegas terhadap orang-orang kafir. Sifat ini merupakan hasil kecintaan kepada Allah. Seorang yang cinta kepada Allah akan menjadi seorang yang arif bijaksana yang akan selalu gembira dan senyum, bersikap lemah lembut karena jiwanya dipenuhi oleh sifat Allah yang paling dominan yaitu rahmat dan kasih sayang. Inilah yang menghasilkan rasa persaudaraan seagama, yang menjadikannya bersikap toleran terhadap kesalahannya, lemah lembut dalam sikap dan perilakunya termasuk ketika menegur atau menasehatinya. Sikap ini yang mengantar seorang muslim merasakan derita saudaranya, sehingga memenuhi kebutuhannya dan melapangkan kesulitannya. Sedang sikap tegas kepada orang-orang kafir, bukan berarti memusuhi pribadinya, atau memaksakan mereka memeluk islam, atau merusak tempat ibadah dan menghalangi mereka melaksanakan tuntutan agama dan kepercayaan mereka tetapi bersikap tegas, terhadap permusuhan mereka, atau upaya-upaya mereka melecehkan ajaran agama dan kaum muslimin. 3 Mereka berjihad di jalan Allah Jihad disini tidak terbatas dalam bentuk mengangkat senjata, tetapi termasuk upaya-upaya membela islam dan memperkaya peradabannya dengan lisan dan tulisan, sambil menjelaskan ajaran islam dan menangkal ide-ide yang bertentangan dengannya lebih-lebih yang memburukannya. 4 Tidak takut kepada celaan pencela Mereka tidak takut dicela bahwa mereka tidak toleran misalnya jika mereka bersikap tegas terhadap orang kafir yang memusuhi islam, tidak juga khawatir dituduh fanatik atau fundamentalis jika menegakkan ukhwah islamiyah. Bahwa kemungkinan manusia dapat saling mencintai mahabbah dengan Tuhan. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam Al-Qur’an dalam surah al-Maidah ayat 54 yakni يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا مَنۡ يَّرۡتَدَّ مِنۡكُمۡ عَنۡ دِيۡـنِهٖ فَسَوۡفَ يَاۡتِى اللّٰهُ بِقَوۡمٍ يُّحِبُّهُمۡ وَيُحِبُّوۡنَهٗۤ ۙ اَذِلَّةٍ عَلَى الۡمُؤۡمِنِيۡنَ اَعِزَّةٍ عَلَى الۡكٰفِرِيۡنَ يُجَاهِدُوۡنَ فِىۡ سَبِيۡلِ اللّٰهِ وَلَا يَخَافُوۡنَ لَوۡمَةَ لَاۤٮِٕمٍ‌ ؕ ذٰ لِكَ فَضۡلُ اللّٰهِ يُؤۡتِيۡهِ مَنۡ يَّشَآءُ‌ ؕ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيۡمٌ Artinya ”Hai orang-orang yang beriman barang siapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir yang berjihad dijalan Allah dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah diberikan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha halus pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. Dari ayat diatas para ahli sufi menafsirkannya bahwa akan datang suatu kaum yang dicintai Allah dan mereka juga mencintai Allah, sebagaimana yang tercantum didalam Tafsir al-Misbah karangan Quraish Shihab bahwa Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai Allah. Cinta Allah kepada hamba-Nya dipahami para mufassir dalam arti limpahan kebaikan dan anugerah-Nya. Cinta Allah dan karunianya tidak terbatas dan cinta manusia kepada Allah bertingkat-bertingkat, tetapi yang jelas adalah cinta kepada-Nya merupakan dasar dan prinsip perjalanan menuju Allah, sehingga semua peringkat maqam dapat mengalami kehancuran kecuali cinta. Cinta tidak bisa hancur dalam keadaan apapun selama jalan menuju Allah tetap ditelusuri. Bahwa Allah memerintahkan manusia agar senantiasa bertaubat membersihkan diri dan memohan ampunan kepada-Nya sehingga memperoleh cahaya ini sesuai dengan ayat Al-Qur’an surah at-Tahrim ayat 8 yaitu يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ تُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا عَسَىٰ رَبُّكُمْ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمْ سَيِّـَٔاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّٰتٍ تَجْرِىمِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ يَوْمَ لَا يُخْزِى ٱللَّهُ ٱلنَّبِىَّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَعَهُۥ ۖ نُورُهُمْ يَسْعَىٰ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَٰنِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَآ أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَٱغْفِرْ لَنَآ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ Artinya ”Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya, mudah-mudahan Tuhanmu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang beriman bersama dengan dia ; sedang cahaya mereka memancar dihadapan dan disebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan,”Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami ; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” Dari ayat tersebut dijelaskan bahwa seseorang yang bertasawuf harus bertaubat lebih dulu untuk menghapus segala kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan sebelumnya. Para sufi berpendapat bahwa untuk mencari keridhaan Allah harus bertaubat lebih dahulu dan meninggalkan segala yang menyangkut dengan kebendaan dunia dan menghiasinya dengan akhlak mahmudah, dengan demikian kita bisa menuju keridhaan Allah SWT. Dalam tasawuf kata taubat berasal dari kata taaba-yatubu-taubatan yang artinya kembali. Sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Rahmat dari kitab Manaajil Al-saairin bahwa taubat adalah maqam yang kedua. Sedangkan maqam yang pertama adalah yaqzhah atau kesadaran. Dalam yaqzhah itu, kita tiba-tiba disadarkan oleh Allah SWT akan keburukan-keburukan yang pernah kita lakukan selama kejauhan kita dari Allah SWT. Bisa jadi kita disadarkan dengan satu musibah yang menimpa kita atau nasihat orang lain dan perenungan kita sendiri. Allah mempunyai cara untuk menyadarkan hamba-Nya. Tetapi dalam tasawuf bahkan menurut Al-Qur’an orang lebih banyak disadarkan oleh musibah.[7] Allah juga menegaskan dalam Al-Qur’an tentang pertemuan manusia dengan Allah sebagaimana yang tercantum dalam surah al-Baqarah ayat 115 yaitu وَلِلَّهِ ٱلۡمَشۡرِقُ وَٱلۡمَغۡرِبُۚ فَأَيۡنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ وَٰسِعٌ عَلِيمٞ Artinya ”Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha luas rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui.” Bagi kaum sufi ayat tersebut mengandung arti bahwa dimana Tuhan ada, di situ pula Tuhan dapat dijumpai. Maksudnya kapanpun dan dimanapun kita berada Allah selalu bersama kita karena dzat-Nya tidak dibatasi ruang dan waktu dan tidak pula dibatasi oleh tempat. Dalam Al-Qur’an juga dijelaskan tentang kedekatan manusia dengan-Nya seperti yang tercantum dalam surah al-Baqarah ayat 186 yaitu وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ Artinya ”Jika hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang diri-Ku, Aku adalah dekat, Aku mengabulkan seruan orang yang memanggil jika ia panggil Aku.” Dalam surah Qaf ayat 16 juga disebutkan yaitu وَلَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِۦ نَفْسُهُۥ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ ٱلْوَرِيدِ Artinya “Sebenarnya Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkannya kepadanya, Kami lebih dekat kepadanya daripada pembuluh darahnya sendiri.” Berdasarkan ayat tersebut kebanyakan dikalangan para sufi berpendapat bahwa untuk mencari Tuhan, orang tidak perlu pergi jauh-jauh. Ia cukup kembali ke dalam dirinya sendiri. Maksudnya kita harus intropeksi diri memuhasabahi diri kita atas apa yang telah kita lakukan dan kita perbuat dan sejauhmana kita mensyukuri anugerah Allah kepada kita. Ayat Al-Qur’an Tentang Tasawuf Secara Implisit Makna implisit adalah makna universal yang disembunyikan oleh bahasa. Konsep makna ini bersifat konotatif kias sebagai representasi dari bahasa emotif. Implisit makna/maksud diajukan tidak secara langsung dan sembunyi-sembunyi. Ada pun ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi landasan tasawuf secara inplisit dapat dilihat dari tingkatan maqam dan keadaan ahwal para sufi yaitu Tingkatan Zuhud yakni tercantum dalam surah An-Nisaa’ ayat 77 yaitu أَلَمْ تَرَ إِلَى ٱلَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوٓا۟ أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ ٱلْقِتَالُ إِذَا فَرِيقٌ مِّنْهُمْ يَخْشَوْنَ ٱلنَّاسَ كَخَشْيَةِ ٱللَّهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً ۚ وَقَالُوا۟ رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا ٱلْقِتَالَ لَوْلَآ أَخَّرْتَنَآ إِلَىٰٓ أَجَلٍ قَرِيبٍ ۗ قُلْ مَتَٰعُ ٱلدُّنْيَا قَلِيلٌ وَٱلْءَاخِرَةُ خَيْرٌ لِّمَنِ ٱتَّقَىٰ وَلَا تُظْلَمُونَ فَتِيلًا Artinya “Katakanlah kesenangan didunia ini hanya sementara dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa…” Tingkatan Tawakkal yaitu dalam surah At-Thalak ayat 3 yaitu وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا ۙ Artinya “Dan barang siapa bertawakkal kepada Allah niscaya Allah mencukupkan keperluannya.”[14] Tingkatan Syukur dalam Ibrahim ayat 7 yaitu وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ Artinya “Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti akan Kami menambahkan nikmat kepadamu.”[15] Tingkat Sabar berlandaskan Al-Baqarah ayat 155 yaitu وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ Artinya “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” QS Al-Baqoroh155. Tingkatan Ridha berdasarkan Al-Bayinah ayat 8 yaitu جَزَآؤُهُمۡ عِنۡدَ رَبِّهِمۡ جَنّٰتُ عَدۡنٍ تَجۡرِىۡ مِنۡ تَحۡتِهَا الۡاَنۡهٰرُ خٰلِدِيۡنَ فِيۡهَاۤ اَبَدًا ‌ؕ رَضِىَ اللّٰهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُوۡا عَنۡهُ ‌ؕ ذٰلِكَ لِمَنۡ خَشِىَ رَبَّهٗ Artinya “Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ’Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah balasan bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” Hadist Tentang Tasawuf Secara Eksplisit Dalam hadis juga banyak dijumpai keterangan-keterangan yang berbicara tentang kehidupan rohaniah manusia. Di antaranya adalah sebagai berikut ”Senantiasa seorang hamba itu mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Maka tatkala mencintainya, jadilah Aku pendengarnya yang dia pakai untuk mendengar dan lidahnya yang dia pakai untuk berbicara dan tangannya yang dia pakai untuk mengepal dan kakinya yang dia pakai untuk berusaha ; maka dengan-Ku-lah dia mendengar, melihat, berbicara, berpikir, meninju dan berpikir.” Dari hadis ini dapat dipahami bahwa manusia dan Tuhan dapat bersatu. Diri manusia dapat lebur dalam diri Tuhan yang selanjutnya dikenal dengan istilah fana, yakni fana’-nya makhluk sebagai yang mencintai kepada Tuhan seperti yang dicintainya. Fana adalah menghilangnya daripada pengenalan ghair, baqa adalah pengetahuan Tuhan, yang di dapat oleh seorang yang sudah menghilangnya pengetahuan tentang ghair. Dalam hal ini nafs kita dalam jalan fana ubudiyyah yakni penghambaan, ibadah dan Tuhan dalam jalan baqaa rububiyyah yakni penguasaan. عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ Artinya “Dari Abi Yahya Suhaib bin Sinan RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda sangat mengagumkan keadaan seorang mukmin. Sesungguhnya segala keadaannya untuknya baik sekali, dan tidak mungkin terjadi demikian kecuali bagi orang mukmin. Kalau mendapat kenikmatan, ia bersyukur, maka bersyukur itu lebih baik baginya. Dan kalau menderita kesusahan ia sabar, maka kesabaran itu lebih baik baginya. HR. Muslim. Hadist tentang tasawuf secara inplisit Dari Umar bin Khattab ra., katanya Aku mendengar Rasul Allah SAW bersabda ”Semua amal perbuatan itu hanyalah dinilai menurut masing-masing niatnya, dan setiap orang hanyalah menurut apa yang diniatkan. Maka barang siapa yang hijrahnya itu kepada keridhaan Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya untuk keduniaan atau wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu pun diberi penilaian untuk tujuan apa ia hijrah tadi”. Al-Bukhari. Dari Ibnu Mas’ud ra. Dari Rasul Allah, bersabda sesungguhnya jujur itu mendorong untuk beramal saleh, dan sesungguhnya amal saleh itu menunjukkan jalan ke surga. Dan seorang yang benar-benar/terus-menerus berbuat jujur sehingga menjiwai dan berbudi, ditetapkan disisi Allah sebagai ahli jujur. Dan sesungguhnya dusta itu mendorong untuk berbuat keji dan perbuatan keji itu menyampaikan ke neraka. Dan seorang yang benar-benar/terus-menerus berdusta, ditetapkan disisi Allah sebagai ahli dusta. Mutafaq Alaih. Dalam Hadist Qudsi juga dijelaskan yaitu “Tidaklah para hamba yang beribadah kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku fardhukan kepadanya. Dan hamba yang beribadah kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan sunat, maka Aku juga mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku adalah pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, penglihatan yang ia gunakan untuk melihat, tangan yang ia pakai memegang dan kaki yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika ia memohon perlindungan kepada-Ku, maka Aku akan melindunginya”.[20] Hadis ini menjelaskan bahwa sesungguhnya seorang hamba mampu meninggalkan syahwat dan tenggelam dalam ketaatan, sehingga ia hanya menggunakan anggota badannya sesuai dengan tujuan penciptaannya, sebagai taufik dan hidayah Allah SWT. Hadis ini memberi pengertian, bahwa dasar kecintaan Allah kepada hamba-Nya adalah melalui perbuatan-perbuatan yang sunat. Oleh karena itu, selama seorang hamba beribadah kepada-Nya melalui ibadah-ibadah sunat hingga sampai pada tingkatan cinta kepada-Nya, maka pada saat itu dia mampu tenggelam dengan melihat kesucian Allah, tidak melihat sesuatupun kecuali Allah berada di sisinya. Pengalaman semacam ini merupakan derajat terakhir bagi orang-orang yang menuju akhirat dan jalan pertama bagi orang yang ingin sampai kepada Allah. Dengan mengikuti sunah tercapailah ma’rifat, dengan melakukan perbuatan fardhu tercapailah qurbah dekat dengan Allah dan dengan selalu melaksanakan perbuatan sunat tercapailah mahabbah Allah.[21] Dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW, juga terdapat petunjuk yang menggambarkan bahwa beliau adalah sufi. Nabi Muhammad telah mengasingkan diri ke Gua Hira menjelang datangnya wahyu. Beliau menjauhi pola hidup kebendaan yang pada waktu itu diagung-agungkan oleh orang Arab tengah tenggelam didalamnya, seperti dalam peraktek perdagangan dengan prinsip menghalalkan segala cara.[22] Perilaku Rasul dan sahabat dalam kajian tasawuf Benih-benih tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan nabi Muhammad SAW. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan perilaku nabi Muhammad SAW. Peristiwa dan Perilaku Hidup Nabi. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari-hari beliau berkhalawat mengasingkan diri di Gua Hira, terutama pada bulan Ramadhan disana nabi banyak berzikir dan bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pengasingan diri Nabi SAW digua Hira ini merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalawat. Kemudian puncak kedekatan Nabi SAW dengan Allah SWT tercapai ketika melakukan Isra Mikraj. Di dalam Isra Mikraj itu nabi SAW telah sampai ke Sidratulmuntaha tempat terakhir yang dicapai nabi ketika mikraj di langit ke tujuh, bahkan telah sampai kehadiran Ilahi dan sempat berdialog dgn Allah. Dialog ini terjadi berulang kali, dimulai ketika nabi SAW menerima perintah dari Allah SWT tentang kewajiban shalat lima puluh kali dalam sehari semalam. Atas usul nabi Musa AS, Nabi Muhammad SAW memohon agar jumlahnya diringankan dengan alasan umatnya nanti tidak akan mampu melaksanakannya. Kemudian Nabi Muhammad SAW terus berdialog dengan Allah SWT. Keadaan demikian merupakan benih yang menumbuhkan sufisme dikemudian hari. Perikehidupan sirah nabi Muhammad SAW juga merupakan benih-benih tasawuf yaitu pribadi nabi SAW yang sederhana, zuhud, dan tidak pernah terpesona dengan kemewahan dunia. Dalam salah satu Doanya ia memohon ”Wahai Allah, Hidupkanlah aku dalam kemiskinan dan matikanlah aku selaku orang miskin” Ibnu Majah dan al-Hakim. “Pada suatu waktu Nabi SAW datang kerumah istrinya, Aisyah binti Abu Bakar as-Siddiq. Ternyata dirumahnya tidak ada makanan. Keadaan ini diterimanya dengan sabar, lalu ia menahan lapar dengan berpuasa” Dawud, at-Tirmizi dan an-Nasa-i . Ibadah Nabi Muhammad SAW. Ibadah nabi SAW juga sebagai cikal bakal tasawuf. Nabi SAW adalah orang yang paling tekun beribadah. Dalam satu riwayat dari Aisyah RA disebutkan bahwa pada suatu malam nabi SAW mengerjakan shalat malam, didalam salat lututnya bergetar karena panjang dan banyak rakaat salatnya. Tatkala rukuk dan sujud terdengar suara tangisnya namun beliau tetap melaksanakan salat sampai azan Bilal bin Rabah terdengar diwaktu subuh. Melihat nabi SAW demikian tekun melakukan salat, Aisyah bertanya ”Wahai Junjungan, bukankah dosamu yang terdahulu dan yang akan datang diampuni Allah, mengapa engkau masih terlalu banyak melakukan salat?” nabi SAW menjawab” Aku ingin menjadi hamba yang banyak bersyukur” dan Muslim. Selain banyak salat nabi SAW banyak berzikir. Beliau berkata “Sesungguhnya saya meminta ampun kepada Allah dan bertobat kepada-Nya setiap hari tujuh puluh kali” Dalam hadis lain dikatakan bahwa Nabi SAW meminta ampun setiap hari sebanyak seratus kali Selain itu nabi SAW banyak pula melakukan iktikaf dalam mesjid terutama dalam bulan Ramadan. Akhlak Nabi Muhammad SAW. Akhlak nabi SAW merupakan acuan akhlak yang tidak ada bandingannya. Akhlak nabi SAW bukan hanya dipuji oleh manusia, tetapi juga oleh Allah SWT. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah SWT yang artinya “Dan sesungguhnya kami Muhammad benar-benar berbudi pekerti yang agung”. Qalam4 ketika Aisyah ditanya tentang Akhlak Nabi SAW, Beliau menjawab Akhlaknya adalah Al-Qur’an” dan Muslim. Tingkah laku nabi tercermin dalam kandungan Al-Qur’an sepenuhnya. Dalam diri nabi SAW terkumpul sifat-sifat utama, yaitu rendah hati, lemah lembut, jujur, tidak suka mencari-cari cacat orang lain, sabar, tidak angkuh, santun dan tidak mabuk pujian. Nabi SAW selalu berusaha melupakan hal-hal yang tidak berkenan di hatinya dan tidak pernah berputus asa dalam berusaha. Oleh karena itu, Nabi SAW merupakan tipe ideal bagi seluruh kaum muslimin, termasuk pula para sufi. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 21 yang artinya”Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah.”. Empat Sahabat Nabi Muhammad SAW. Sumber lain yang menjadi sumber acuan oleh para sufi adalah kehidupan para sahabat yang berkaitan dengan keteguhan iman, ketakwaan, kezuhudan dan budi pekerti luhur. Oleh karena setiap orang yang meneliti kehidupan rohani dalam islam tidak dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi diabad-abad sesudahnya. Kehidupan para sahabat dijadikan acuan oleh para sufi karena para sahabat sebagai murid langsung Rasulullah SAW dalam segala perbuatan dan ucapan mereka senantiasa mengikuti kehidupan Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu perilaku kehidupan mereka dapat dikatakan sama dengan perilaku kehidupan Nabi SAW, kecuali hal-hal tertentu yang khusus bagi Nabi SAW. Setidaknya kehidupan para sahabat adalah kehidupan yang paling mirip dengan kehidupan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW karena mereka menyaksikan langsung apa yang diperbuat dan dituturkan oleh Nabi SAW. Oleh karena itu Al-Qur’an memuji mereka ” Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama masuk islam diantara orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah sediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai didalamnya, mereka kekal didalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar”. Taubah100. Abu Nasr as-Sarraj at-Tusi menulis didalam bukunya, Kitab al-Luma`, tentang ucapan Abi Utbah al-Hilwani salah seorang tabiin tentang kehidupan para sahabat” Maukah saya beritahukan kepadamu tentang kehidupan para sahabat Rasulullah SAW? Pertama, bertemu kepada Allah lebih mereka sukai dari pada kehidupan duniawi. Kedua, mereka tidak takut terhadap musuh, baik musuh itu sedikit maupun banyak. Ketiga, mereka tidak jatuh miskin dalam hal yang duniawi, dan mereka demikian percaya pada rezeki Allah SWT.” Adapun kehidupan keempat sahabat Nabi SAW yang dijadikan panutan para sufi secara rinci adalah sbb Abu Bakar as-Siddiq. Pada mulanya ia adalah salah seorang Kuraisy yang kaya. Setelah masuk islam, ia menjadi orang yang sangat sederhana. Ketika menghadapi perang Tabuk, Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat, Siapa yang bersedia memberikan harta bendanya dijalan Allah SWT. Abu Bakar lah yang pertama menjawab”Saya ya Rasulullah.” Akhirnya Abu Bakar memberikan seluruh harta bendanya untuk jalan Allah SWT. Melihat demikian, Nabi SAW bertanya kepada ”Apalagi yang tinggal untukmu wahai Abu Bakar?” ia menjawab”Cukup bagiku Allah dan Rasul-Nya.” Diriwayatkan bahwa selama enam hari dalam seminggu Abu Bakar selalu dalam keadaan lapar. Pada suatu hari Rasulullah SAW pergi kemesjid. Disana Nabi SAW bertemu Abu Bakar dan Umar bin Khattab, kemudian ia bertanya”Kenapa anda berdua sudah ada di mesjid?” Kedua sahabat itu menjawab”Karena menghibur lapar.” Diceritakan pula bahwa Abu Bakar hanya memiliki sehelai pakaian. Ia berkata”Jika seorang hamba begitu dipesonakan oleh hiasan dunia, Allah membencinya sampai ia meninggalkan perhiasan itu.” Oleh karena itu Abu Bakar memilih takwa sebagai ”pakaiannya.” Ia menghiasi dirinya dengan sifat-sifat rendah hati, santun, sabar, dan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan ibadah dan zikir. Umar bin Khattab Umar bin Khattab yang terkenal dengan keheningan jiwa dan kebersihan kalbunya, sehingga Rasulullah SAW berkata” Allah telah menjadikan kebenaran pada lidah dan hati Umar.” Ia terkenal dengan kezuhudan dan kesederhanaannya. Diriwayatkan, pada suatu ketika setelah ia menjabat sebagai khalifah, ia berpidato dengan memakai baju bertambal dua belas sobekan. Diceritakan, Abdullah bin Umar, putra Umar bin Khatab, ketika masih kecil bermain dengan anak-anak yang lain. Anak-anak itu semua mengejek Abdullah karena pakaian yang dipakainya penuh dengan tambalan. Hal ini disampaikannya kepada ayahnya yang ketika itu menjabat sebagai khalifah. Umar merasa sedih karena pada saat itu tidak mempunyai uang untuk membeli pakaian anaknya. Oleh karena itu ia membuat surat kepada pegawai Baitulmal Pembendaharaan Negara diminta dipinjami uang dan pada bulan depan akan dibayar dengan jalan memotong gajinya. Pegawai Baitulmal menjawab surat itu dengan mengajukan suatu pertanyaan, apakah Umar yakin umurnya akan sampai bulan depan. Maka dengan perasaan terharu dengan diiringi derai air mata , Umar menulis lagi sepucuk surat kepada pegawai Baitul Mal bahwa ia tidak lagi meminjam uang karena tidak yakin umurnya sampai bulan yang akan datang. Disebutkan dalam buku-buku tasawuf dan biografinya, Umar menghabiskan malamnya beribadah. Hal demikian dilakukan untuk mengibangi waktu siangnya yang banyak disita untuk urusan kepentingan umat. Ia merasa bahwa pada waktu malamlah ia mempunyai kesempatan yang luas untuk menghadapkan hati dan wajahnya kepada Allah SWT. Usman bin Affan Usman bin Affan yang menjadi teladan para sufi dalam banyak hal. Usman adalah seorang yang zuhud, tawaduk merendahkan diri dihadapan Allah SWT, banyak mengingat Allah SWT, banyak membaca ayat-ayat Allah SWT, dan memiliki akhlak yang terpuji. Diriwayatkan ketika menghadapi Perang Tabuk, sementara kaum muslimin sedang menghadapi paceklik, Usman memberikan bantuan yang besar berupa kendaraan dan perbekalan tentara. Diriwayatkan pula, Usman telah membeli sebuah telaga milik seorang Yahudi untuk kaum muslimin. Hal ini dilakukan karena air telaga tersebut tidak boleh diambil oleh kaum muslimin. Dimasa pemerintahan Abu Bakar terjadi kemarau panjang. Banyak rakyat yang mengadu kepada khalifah dengan menerangkan kesulitan hidup mereka. Seandainya rakyat tidak segera dibantu, kelaparan akan banyak merenggut nyawa. Pada saat paceklik ini Usman menyumbangkan bahan makanan sebanyak seribu ekor unta. Tentang ibadahnya, diriwayatkan bahwa usman terbunuh ketika sedang membaca Al-Qur’an. Tebasan pedang para pemberontak mengenainya ketika sedang membaca surah Al-Baqarah ayat 137 yang artinya…”Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” ketika itu ia tidak sedikitpun beranjak dari tempatnya, bahkan tidak mengijinkan orang mendekatinya. Ketika ia rebah berlumur darah, mushaf kumpulan lembaran Al-Qur’an itu masih tetap berada ditangannya. Ali bin Abi Talib Ali bin Abi Talib yang tidak kurang pula keteladanannya dalam dunia kerohanian. Ia mendapat tempat khusus di kalangan para sufi. Bagi mereka Ali merupakan guru kerohanian yang utama. Ali mendapat warisan khusus tentang ini dari Nabi SAW. Abu Ali ar-Ruzbari , seorang tokoh sufi, mengatakan bahwa Ali dianugerahi Ilmu Laduni. Ilmu itu, sebelumnya, secara khusus diberikan Allah SWT kepada Nabi Khaidir AS, seperti firmannya yang artinya…”dan telah Kami ajarkan padanya ilmu dari sisi Kami.” Kahfi65. Kezuhudan dan kerendahan hati Ali terlihat pada kehidupannya yang sederhana. Ia tidak malu memakai pakaian yang bertambal, bahkan ia sendiri yang menambal pakiannya yang robek. Suatu waktu ia tengah menjinjing daging di Pasar, lalu orang menyapanya”Apakah tuan tidak malu memapa daging itu ya Amirulmukminin Khalifah?” Kemudian dijawabnya”Yang saya bawa ini adalah barang halal, kenapa saya harus malu?”. Abu Nasr As-Sarraj at-Tusi berkomentar tentang Ali. Katanya”Di antara para sahabat Rasulullah SAW Amirulmukminin Ali bin Abi Talib memiliki keistimewahan tersendiri dengan pengertian-pengertiannya yang agung, isyarat-isyaratnya yang halus, kata-katanya yang unik, uraian dan ungkapannya tentang tauhid, makrifat, iman, ilmu, hal-hal yang luhur, dan sebagainya yang menjadi pegangan serta teladan para sufi. Kehidupan Para Ahl as-Suffah. Selain keempat khalifah di atas, sebagai rujukan para sufi dikenal pula para Ahl as-Suffah. Mereka ini tinggal di Mesjid Nabawi di Madinah dalam keadaan serba miskin, teguh dalam memegang akidah, dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Diantara Ahl as-Suffah itu ialah Abu Hurairah, Abu Zar al-Giffari, Salman al-Farisi, Mu’az bin Jabal, Imran bin Husin, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas dan Huzaifah bin Yaman. Abu Nu’aim al-Isfahani, penulis tasawuf w. 430/1038 menggambarkan sifat Ahl as-Suffah di dalam bukunya Hilyat al-Aulia`Permata para wali yang artinya Mereka adalah kelompok yang terjaga dari kecendrungan duniawi, terpelihara dari kelalaian terhadap kewajiban dan menjadi panutan kaum miskin yang menjauhi keduniaan. Mereka tidak memiliki keluarga dan harta benda. Bahkan pekerjaan dagang ataupun peristiwa yang berlangsung disekitar mereka tidak lah melalaikan mereka dari mengingat Allah SWT. Mereka tidak disedihkan oleh kemiskinan material dan mereka tidak digembirakan kecuali oleh suatu yang mereka tuju. Diantara Ahl as-Suffah itu ada yang mempunyai keistimewahan sendiri. Hal ini memang diwariskan oleh Rasulullah SAW kepada mereka seperti Huzaifah bin Yaman yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW tentang ciri-ciri orang Munafik. Jika ia berbicara tentang orang munafik, para sahabat yang lain senantiasa ingin mendengarkannya dan ingin mendapatkan ilmu yang belum diperolehnya dari Nabi SAW. Umar bin Khattab pernah tercengang mendengar uraian Huzaifah tentang ciri-ciri orang munafik. Adapun Abu Zar al-Giffarri adalah seorang Ahl as-Suffah termasyur yang bersifat sosial. Ia tampil sebagai prototipe tokoh pertama fakir sejati. Abu Zar tidak pernah memiliki apa-apa, tetapi ia sepenuhnya milik Allah SWT dan akan menikmati hartanya yang abadi. Apabila ia diberikan sesuatu berupa materi, maka materi tersebut dibagi-bagi kepada para fakir miskin. Begitu juga Salman Al Farisi salah seorang Ahli Suffah yang hidup sangat sederhana sampai akhir hanyatnya. Beliau merupakan salah satu Ahli Silsilah dari Tarekat Naqsyabandi yang jalur keguruan bersambung kepada Saidina Abu Bakar Siddiq sampai kepada Rasulullah. BAB III PENUTUP Dari uraian di atas maka penulis dapat menarik berbagai poin kesimpulan yang merupakan intisari dari pembahasan ini, yaitu al-qur’an dan hadits Al-Qur’an merupakan dasar-dasar para sufi dalam bertasawuf kedudukannya sebagai ilmu tentang tingkatan maqam dan keadaan ahwal. Selain Al-Qur’an dan Hadis juga merupakan landasan dalam tasawuf sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah di Gua Hira yakni tafakkur, beribadah, dan hidup sebagai seorang zahid, Beliau hidup sangat sederhana, terkadang mengenakan pakaian tambalan, tidak makan dan minum kecuali yang halal, dan setiap malam senantiasa beribadah kepada Allah SWT. Dikalangan para sahabat juga banyak yang mempraktekkan tasawuf sebagaimana yang dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW. Untuk menjadi seorang sufi kita harus bisa meninggalkan segala yang menyangkut dengan sifat kebendaan dan senantiasa bertaubat serta mendekatkan diri kepada-Nya untuk mencapai ridha Allah SWT. B. Benih-benih tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan nabi Muhammad SAW. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan perilaku nabi Muhammad SAW. Peristiwa dan Perilaku Hidup Nabi. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari-hari beliau berkhalawat mengasingkan diri di Gua Hira, terutama pada bulan Ramadhan disana nabi banyak berzikir dan bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. PUSTAKA Anwar, Rosihon dan Mukhtar Solihin. Ilmu Tasawuf, Bandung Pustaka Setia, 2006. Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung Diponegoro, 2005. Rahmat, Jalaluddin. Meraih Cinta Ilahi ; Pencerahan Sufistik, BandungRemaja Rosdakarya, 2001. Sayyid Abi Bakar Ibnu Muhammad Syatha, Missi Suci Para Sufi, Yogyakarta Mitra Pustaka, 2002. Shayk Ibrahim Gazuri Ilahi, Anal Haqq, Jakarta Raja Grafindo Persada, 1996. Shihab, Quraish. Tafsir al-Misbah, Jakarta Lentera Hati, 2001. [1] Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, Bandung Pustaka Setia, 2006, Oleh NASHIH NASHRULLAHBerceramah merupakan satu dari sekian aktivitas berdakwah yang mulia menyampaikan pesan dan menyebarkan syiar di hadapan ratusan, ribuan, bahkan jutaan umat manusia. Ada misi berharga di sana. Namun, dinamika dunia dakwah pun berkembang. Ini beriringan dengan perkembangan teknologi dan lain sebagainya. Tak sedikit oknum pendakwah pada akhirnya terjebak dalam logika materi. Berdakwah pun sekaligus berbisnis. Seperti memasang tarif tertentu untuk jasa ceramahnya. Bolehkah memasang tarif untuk jalan dakwah? Eks ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia MUI alm Prof Hasanuddin AF pernah mengatakan, dari segi hukum Islam, pada prinsipnya diperbolehkan menerima imbalan jasa atas ceramah atau mengajarkan ilmu agama lainnya, seperti pengajaran Alquran. Akan tetapi, ia menggarisbawahi bahwa imbalan tersebut bukan tujuan utama. Dan, agar tarif tersebut tetap tidak melampaui batas kewajaran. Motif paling mendasar kala berdakwah adalah niat untuk Allah SWT semata. Selain itu, memberlakukan tarif berdakwah justru akan menghilangkan pahala dakwah itu sendiri. “Jika niatnya bisnis dan dibisniskan, itu tidak boleh,” ujarnya. Ia pun mengutip hadis riwayat Umar bin Khattab tentang pentingnya meluruskan niat bahwa segala urusan akan dikembalikan pada sejauh manakah niat dan motif yang bersangkutan. Bila sebatas dunia maka pahala tak ia dapat. Sebab, hanya dunia yang ia peroleh. Ia pun mengimbau para pendakwah agar tidak mematok tarif. Tindakan pemasangan tarif justru berpotensi merusak citra dakwah tersebut. Ia mengusulkan agar sanksi sosial dijatuhkan pada oknum-oknum pematok tarif dakwah. “Jangan diundang lagi,” katanya. Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah Prof Syamsul Anwar mengingatkan para pendakwah agar tetap ikhlas dan tidak memasang tarif. Meski ia menegaskan tidak ada larangan untuk memasang tarif untuk dakwah, tetapi hendaknya para dai menghindari “komersialisasi” tersebut. Menurut dia, pemasangan tarif kaitannya dengan kebiasaan yang berlaku. Semestinya, iltizam dini atau ketaatan terhadap syariat, dengan tidak mengedepankan tarif, lebih ditekankan oleh yang bersangkutan. Kalaupun hendak memasang tarif, sewajarnya saja. “Masyarakat punya penilaian tersendiri,” katanya. Komersialisasi Ketua Lajnah Bahtshul Masail Nahdlatul Ulama LBM-NU KH Zulfa Mustofa menyatakan, menurut perspektif agama, secara etika, seorang ulama tidak boleh meminta, bahkan memasang tarif. Memang, mayoritas ulama memperbolehkan penerimaan upah dari pengajaran ilmu agama, tetapi tidak dengan cara mematok tarif. “Tidak pantas meminta apa pun alasannya,” ujar alumnus Pesantren Maslakul Huda, Pati, Jawa Tengah, asuhan KH Sahal Mahfuz tersebut. Menurut dia, “komersialisasi” itu tak terlepas dari pengaruh media, terutama televisi. Tingkat rating akan dijadikan alasan untuk meningkatkan “tarif” dakwah seseorang. Padahal, sikap semacam ini bisa mengancam kekekalan pahala. Ia pun teringat nasihat sang guru, KH Sahal Mahfuz, yang berpesan, “Allaim majjanan kama ullimta majjanan” ajarkanlah ilmu secara ikhlas, sebagaimana engkau dididik secara gratis. Tak lupa, ia sampaikan ajakan agar para ulama mengingatkan oknum pendakwah mana pun yang mematok tarif. Fikih klasik Dalam kajian fikih klasik, rujukan persoalan ini bermuara pada topik pengambilan upah atas pengajaran Alquran. Menurut kelompok yang pertama, tidak boleh menerima atau “membisniskan” pengajaran ilmu agama, tak terkecuali Alquran. Opsi ini berlaku di sejumlah mazhab, antara lain Hanbali di salah satu riwayat, Zaidiyyah, dan Ibadhiyyah. Sedangkan, Imamiyyah melihat hukumnya makruh selama ada syarat sejak awal. Pihak ini berdalih bahwa mengajarkan ilmu syariah dan Alquran merupakan bakti yang tak berpamrih, hanya Allah SWT-lah yang akan membalasnya. Kebutuhan akan pelajaran ilmu agama dan Alquran sama pentingnya dengan urgensi mengajarkan shalat. Berbagi ilmu shalat merupakan hal mendasar, tak boleh “diperjualbelikan”. Ini ditegaskan di banyak ayat, seperti surah an-Najm ayat 39, al-Qalam ayat 46, dan Yusuf ayat 104. Pandangan ini diperkuat oleh hadis riwayat Ubay bin Ka’ab. Dalam sabda itu, Rasulullah SAW memperingatkan seorang sahabat yang menerima hadiah atas pengajaran Alquran yang dilakukannya. “Jika engkau ambil maka sejatinya engkau telah mengambil satu kurung api neraka,” titah Rasul. Riwayat Ubadah bin as-Shamit menegaskan larangan senada. Secara jelas, larangan itu dipertegas pula dalam hadis Abdurrahman bin Syibil. “Jangan engkau mencari makan darinya dan jangan pula mencari keuntungan,” sabda Nabi. Tak sepakat dengan kelompok yang pertama, menurut kubu yang kedua, hukum mengambil upah dari mengajarkan ilmu agama atau Alquran ialah boleh dan tak jadi soal selama tidak mematok harga tertentu. Pemasangan tarif terhadap aktivitas ini akan menghilangkan pahala dan keutamaannya. Pendapat itu merupakan opsi yang didukung oleh sejumlah ulama mazhab, yaitu generasi kedua dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali menurut salah satu riwayat, dan Zhahiri. Dalil yang dijadikan dasar oleh kubu kedua yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas. Hadis ini mengisahkan izin Rasulullah atas upah seorang sahabat yang telah membacakan ruqyah untuk warga yang terkena sengatan ular. “Sesungguhnya upah yang paling pantas bagimu ialah upah atas pembacaan dan pengajaran Alquran,” sabda Rasul. Sesungguhnya upah yang paling pantas bagimu ialah upah atas pembacaan dan pengajaran Alquran Argumentasi selanjutnya ialah kisah yang dinukilkan di riwayat Sahal bin Sa’ad. Rasul mengabulkan pernikahan sahabatnya dengan mahar bacaan Alquran. Tak sedikit generasi salaf yang memberikan upah bagi para pengajar Alquran, seperti Umar bin Khattab. Sosok berjuluk al-Faruq itu memberi upah dari kocek pribadinya kepada tiga pengajar Alquran di Madinah. Sa’ad bin Abi Waqash dan Amar bin Yasar memiliki tradisi mengupah para pembaca Alquran selama Ramadhan. Imam Malik pun pernah menegaskan, tak jadi soal menerima upah atas pengajaran ilmu agama, termasuk Alquran. “Aku belum pernah mendengar satu pun ulama yang melarangnya,” kata pencetus mazhab Maliki itu. Dilansir dari Harian Republika Edisi 23 Agustus 2013

ayat alquran tentang tasawuf